BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Sesuai dengan ketentuan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dimaksud dengan Peraturan Daerah (Perda) adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. Definisi lain tentang Perda berdasarkan ketentuan Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Kepala Daerah baik di Propinsi maupun di Kabupaten/Kota. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah Propinsi/ Kabupaten/ kota dan tugas pembantuan serta merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.
Sesuai ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, materi muatan Perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Gubernur atau Bupati/ Walikota. Apabila dalam satu kali masa sidang Gubernur atau Bupati/ Walikota dan DPRD menyampaikan rancangan Perda dengan materi yang sama, maka yang dibahas adalah rancangan Perda yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan rancangan Perda yang disampaikan oleh Gubernur atau Bupati/ Walikota dipergunakan sebagai bahan persandingan.
Sejak diberlakukannya Otonomi Daerah banyak daerah Propinsi maupun Kabupaten/Kota yang mengeluarkan Perda. Namun tidak semua Perda yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah benar sesuai dengan ketentuan yang ada. Data terakhir menyebutkan dari 33 provinsi, ada sebanyak 3.735 Perda yang diusulkan dibatalkan oleh Kementerian Keuangan, 945 telah batal, 22 Perda pemdanya mendapat teguran, 6 sedang revisi dan 2.762 Perda belum ada tindak lanjut. Sementara itu, Kemendagri sejak tahun 2002 hingga tahun 2009 atau dalam kurun waktu tujuh tahun telah membatalkan 1.333 perda. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas menemukan sebanyak 3.091 perda bermasalah yang seharusnya dibatalkan atau direvisi karena menghambat perekonomian. Sementara pada tahun 2008 terdapat 1.033 perda bermasalah. Tahun 2008 yang terbanyak, sedangkan tahun 2001-2006 ada 1.039 perda, dan tahun 2007 sebanyak 773 perda. Jadi total 3.091 perda bermasalah sepanjang tahun 2001-2009.
Sementara itu, Provinsi Sumut dinilai sebagai daerah yang paling tidak ramah investasi dengan lebih dari 300 perda. Penilaian perda bermasalah ini diperoleh dari keluhan asosiasi pengusaha dari berbagai sektor di berbagai daerah, Rata-rata mengeluhkan peraturan terkait biaya seperti penambahan biaya administrasi dan retribusi vanq ditarik di awal ketika pengusaha baru mau investasi. Kalangan pengusaha meminta perda tersebut dibatalkan karena memberatkan. Misalnya perda Kabupaten Asahan menetapkan penghitungan retribusi baru yang totalnya naik hingga 16 kali lipat Perda-perda yang diterbitkan pasca kebijakan otonomi ini cenderung meningkatkan ketidakpastian usaha.
Dari sekian banyak Perda yang bermasalah, Propinsi Sumatera Utara merupakan propinsi penghasil Perda bermasalah yang paling banyak. Sebanyak 472 perda bermasalah sudah dibatalkan. Pembatalan dilakukan karena perda tentang pajak daerah dan retribusi dinilai berpeluang menghambat investasi masuk.
Maka dari itu diperlukan upaya menyeluruh untuk menangani Perda yang bermasalah di Sumatera Utara. Jika hal tersebut tidak segera mendapatkan perhatian khusus maka ancaman berkurangnya investasi yang masuk dari dunia usaha akan terjadi, perekonomian di Indonesia pun akan menurun drastis karena terhambatnya investasi.
Dari pemaparan tersebut maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah ini sebagai proposal penelitian yang berjudul “PENGARUH PERDA BERMASALAH TERHADAP IKLIM INVESTASI DI DAERAH SUMATERA UTARA” yang disusun guna untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
a. Bagaimana kondisi Perda di Sumatera Utara?
b. Bagaimana kondisi iklim investasi di Sumatera Utara?
c. Bagaimana upaya pembenahan Perda bermasalah di Sumatera Utara?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui kondisi Perda di Sumatera Utara.
b. Untuk mengetahui kondisi iklim investasi di Sumatera Utara.
c. Merekomendasikan sebuah upaya solusi dalam pembenahan Perda yang bermasalah
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan nilai (value), baik secara akademis maupun praktis terhadap upaya pembentukan Perda yang baik dan benar sesuai ketentuan yang ada. Adapun kontribusi penelitian yang ingin dicapai antara lain :
1.4.1. Akademis
a. Dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran dalam upaya pembentukan Perda yang baik bagi daerah Sumatera Utara.
b. Sebagai bahan wacana dan rujukan bagi penelitian selanjtnya tenteng pembentukan dan penetaan Perda.
1.4.2. Praktis
Bagi pemerintah sumatera Utara dapat membantu merumuskan sebuah Perda yang baik dan benar sesuai ketentuan yang berlaku.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kerangka Pikir
2.1.1. Kondisi Perda di Sumatera Utara
Berdasarkan data Kementerian Kuangan per 29 Maret 2010 mencatat, dari 1.024 peraturan daerah yang disampaikan untuk dievaluasi, sebanyak 472 di antaranya yang berasal dari Provinsi Sumatera Utara sudah dibatalkan. Pembatalan dilakukan karena perda tentang pajak daerah dan retribusi yang dibuat 26 daerah dari 33 yang ada, dinilai berpeluang menghambat investasi masuk.
Rincian 26 daerah yang membuat perda bermasalah itu antara lain Asahan yang mengajukan 60 perda dibatalkan sebanyak 31 perda, Dairi menyampaikan 17 peerda sedangkan yang dibatalkan 12 perda, Labuhan Batu menyampaikan 65 perda, dibatalkan 45 perda dan satu direvisi, Nias menyampaikan 3 perda yang dibatalkan 2 perda, dan Tapanuli Selatan menyampaikan 38 perda sedangkan yang dibatalkan 24 perda.
Kemudian Toba Samosir menyampaikan 38 perda yang dibatalkan 24 perda, Medan menyampaikan 31 perda yang dibatalkan 17 perda, Sibolga menyampaikan 32 perda yang dibatalkan 17 perda, Pakpak Bharat menyampaikan 27 perda yang dibatalkan 19 perda, Humbang Hasundutan menyampaikan 18 perda yang dibatalkan 17 perda, Samosir menyampaikan 31 perda yang dibatalkan 20 perda, dan Padang Lawas menyampaikan satu, dibatalkan satu.
Dari 13 daerah di maksud, Sumatera Utara yang mengajukan 33 perda, harus dibatalkan 7. Kemudian Deli Serdang menyampaikan 76 perda yang dibatalkan 29 dan 2 direvisi, Mandailing Natal menyampaikan 20 perda dibatalkan 8 perda, Simalungun menyampaikan 59 perda yang dibatalkan 26 perda, Tapteng menyampaikan 5 perda yang dibatalkan 2, dan Taput menyampaikan 22 perda yang dibatalkan 3.
Berikutnya Binjai menyampaikan 76 perda yang dibatalkan 30 perda, Pematang Siantar menyampaikan 57 perda yang dibatalkan 22 perda, Tanjung Balai menyampaikan 58 perda yang dibatalkan 22 perda, Tebing Tinggi menyampaikan 43 perda yang dibatalkan 6 perda, Padang Sidimpuan menyampaikan 49 perda yang dibatalkan 15 perda, dan Serdang Bedagai menyampaikan 66 perda yang dibatalkan 27 perda.
Berdasarkan daftar Perda yang direkomendasikan dibatalkan oleh Kementerian Keuangan, untuk Sumut Perda yang diusulkan dibatalkan mencapai 315 Perda, sedangkan yang sudah dibatalkan mencapai 98 Perda dan ada 77 Perda yang belum ditindaklanjuti.
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mencatat sebagian besar peraturan daerah (perda) bermasalah terkait persoalan pajak dan retribusi daerah. Banyaknya perda pajak dan retribusi yang bermasalah tentu akan mengganggu iklim investasi dan ekonomi di daerah. Provinsi Sumatera Utara dinilai sebagai daerah yang paling tidak ramah investasi dengan lebih dari 300 perda. Penilaian perda bermasalah ini diperoleh dari keluhan asosiasi pengusaha dari berbagai sektor di berbagai daerah, Rata-rata mengeluhkan peraturan terkait biaya seperti penambahan biaya administrasi dan retribusi vanq ditarik di awal ketika pengusaha baru mau investasi. Kalangan pengusaha meminta perda tersebut dibatalkan karena memberatkan. Misalnya perda Kabupaten Asahan menetapkan penghitungan retribusi baru yang totalnya naik hingga 16 kali lipat Perda-perda yang diterbitkan pasca kebijakan otonomi ini cenderung meningkatkan ketidakpastian usaha.
2.1.2. Kondisi Iklim Investasi di Sumatera Utara
Di daerah Sumatera Utara terdapat banyak Perda yang bermasalah, sebagian besar Perda yang bermasalah terkait dengan pajak dan retribusi. Sebagai salah satu contohnya yaitu Peraturan Daerah Pemerintah Kabupaten Asahan nomor 4 tahun 2009, lain lagi. Di sini mengatur retribusi izin gangguan. Pemerintah daerah Asahan memperluas jenis resiko dan gangguan industri hingga mencakup persoalan yang tidak terukur, seperti resiko kemerosotan moral dan peningkatan skala usaha. Penghitungan tarif juga mengalami perubahan yang gila 1.600%. Contohnya, jika sebuah tempat usaha seluas kurang lebih 8.000 meter persegi sebelumnya dikenai retribusi Rp 8,8 jutaan, maka dengan peraturan yang baru tarif retribusi bertambah sampai Rp 140 juta lebih.
Perda-perda bermasalah itu berakibat ekonomi biaya tinggi, yang pada gilirannya menjadi faktor penghalang masuknya investasi sehingga banyak investor yang enggan untuk berinvestasi. Iklim investasi di Sumatera Utara pun semakin menurun. Dengan begitu upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah melalui desentralisasi tidak akan tercapai.
2.1.3. Faktor Penyebab Banyaknya Perda Bermasalah
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan banyaknya Perda bermasalah antara lain, yaitu :
a. Kurangnya sumber daya manusia (SDM) yang memahami kondisi lingkungan daerahnya sendiri sehingga banyak Perda yang dibuat tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat.
b. Sebagian besar Perda yang dihasilkan dari mencontoh hasil kunjungan kerja atau studi banding ke daerah lain.
c. Kurangnya pemerintah daerah dalam memahami ketentuan dan syarat pembentukan Perda.
d. Tidak ada kesungguhan dewan untuk mengkaji perda yang diajukan karena ingin cepat selesai lalu hanya disahkan begitu saja.
e. Jumlah SDM sangat sedikit dan belum memenuhi kualifikasi untuk menyusun rancangan peraturan daerah (ranperda).
f. Keterbatasan dana yang dapat mempengaruhi studi untuk menyusun perda.
g. Kurangnya partisipasi masyarakat dan tokoh masyarakat dalam mengontrol munculnya perda.
h. Ketidakcakapan pemerintah provinsi Sumatera Utara dalam menjalankan fungsi pengawasan.
2.1.4. Pembentukan Perda yang Baik
Pembentukan Perda yang baik harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
a. Kejelasan tujuan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, yaitu setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang dan dapat dibatalkan atau batal demi hukum bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan, yaitu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangan.
d. Dapat dilaksanakan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan, yaitu setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasayarakat, berbangsa dan bernegara.
f. Kejelasan rumusan, yaitu setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
g. Keterbukaan, yaitu dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan.
Di samping itu materi muatan Perda harus mengandung asas-asas sebagai berikut:
a. Asas pengayoman, bahwa setiap materi muatan Perda harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
b. Asas kemanusiaan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
c. Asas kebangsaan, bahwa setiap muatan Perda harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
d. Asas kekeluargaan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
e. Asas kenusantaraan, bahwa setiap materi muatan Perda senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Perda merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.
f. Asas bhinneka tunggal ika, bahwa setiap materi muatan Perda harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi daerah dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
g. Asas keadilan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
h. Asas kesamaan dalam hukum dan pemerintahan, bahwa setiap materi muatan Perda tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain agama, suku, ras, golongan, gender atau status sosial.
i. Asas ketertiban dan kepastian hukum, bahwa setiap materi muatan Perda harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
j. Asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.
k. Asas lain sesuai substansi Perda yang bersangkutan
Selain asas dan materi muatan di atas, DPRD dan Pemerintah Daerah dalam menetapkan Perda harus mempertimbangkan keunggulan lokal /daerah, sehingga mempunyai daya saing dalam pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat daerahnya. Prinsip dalam menetapkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam menunjang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui mekanisme APBD, namun demikian untuk mencapai tujuan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat daerah bukan hanya melalui mekanisme tersebut tetapi juga dengan meningkatkan daya saing dengan memperhatikan potensi dan keunggulan lokal/daerah, memberikan insentif (kemudahan dalam perijinan, mengurangi beban Pajak Daerah), sehingga dunia usaha dapat tumbuh dan berkembang di daerahnya dan memberikan peluang menampung tenaga kerja dan meningkatkan PDRB masyarakat daerahnya.
2.2. Model Konsep dan Hipotesis
2.2.1 Model Konsep
Model konsep ini terdapat dua konsep yaitu : konsep perda yang bermasalah di Sumatera Utara dan iklim investasi di daerah tersebut.
Gambar 3.1 Model Konsep
2.2.1. Hipotesis
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari hipotesis dua arah yaitu Hipotesis alternative dan hipotesis Nol. Hipotesis benar jika Hipotesis alternative (Ha) terbukti kebenarannya.
- Hipotesis alternatif (Ha) : “semakin baik perda yang ada di Sumatera Utara, maka semakin baik pula iklim investasi yang ada di sumatera Utara”
- Hipotesis nihil (Ho) : “semakin buruk Perda yang ada di Sumatera Utara, maka semakin buruk pula iklim investasi yang ada di Sumatera Utara”
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini diklasifikasikan dalam penelitian kuantitatif deskriptif korelatif dimana penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan, meringkas berbagai kondisi, berbagai situasi atau berbagai variable yang timbul dimasyarakat yang menjadi objek penelitian itu berdasarkan apa yang terjadi dan mencari hubungan antar variable yang diteliti. (Bungin,2006:36)
3.2. Variabel, Konsep, dan Indikator Penelitian
Konsep, variabel dan indikator merupakan unsur pokok dalam penelitian. Setiap penelitian kuantitatif dimulai dengan menjelaskan konsep penelitian yang digunakan, karena konsep penelitian ini merupakan kerangka acuan peneliti di dalam mendesain instrument penelitian(Bungin, 2009 : 38). Konsep dibangun dengan maksud agar masyarakat akademik atau masyarakat ilmiah maupun konsumen penelitian atau pembaca laporan penelitian memahami apa yang dimaksud dengan pengertian variabel, maupun indikator yang dimaksud peneliti dalam penelitiannya itu. Konsep dapat diteliti secara empiris kemudian diturunkan ke dalam variabel-variabel dan indikator.
Variabel penelitian pada dasarnya adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya. Secara teoritis variabel dapat didefinisikan sebagai atribut seseorang atau obyek yang mempunyai “variasi” antara satu orang dengan obyek yang lain (Hatch dan Farhady, 1981). Variabel juga dapat merupakan atribut dari bidang keilmuan atau kegiatan tertentu. Struktur organisasi, model pendelegasian, kepemimpina, pengawasn, koordinasi, prosedur dan mekanisme kerja, deskripsi pekerjaan, kebijakan adalah contoh variabel dalam kegiatan administrasi.
Kerlinger (1973) menyatakan bahwa variabel adalah construct atau sifat yang akan dipelajari. Misalnya tingkat aspirasi, penghasilan, tingkat pendidikan, status sosial, jenis kelamin, golongan gaji, produktivitas kerja, dan lain-lain. Di bagian lain Kerlinger menyatakn bahwa variabel dapat dikatakan sebagai suatu sifat yang dapat diambil dari suatu nilai yang berbeda (different values). Dengan demikian variabel itu merupakan sesuatu yang bervariasi. Selanjutnya Kidder (1981), menyatakan bahwa variabel adalah suatu kualitas (qualities) dimana peneliti mempelajari dan menarik kesimpulan darinya.
Berdasarkan landasan teori yang ada serta rumusan hipotesis penelitian maka yang menjadi variabel dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel bebas : Peraturan Daerah yang bermasalah di Sumatera Utara
2. Variabel terikat : iklim investasi di Sumatera Utara
Secara operasional, konsep, variabel-variabel, indikator dalam penelitian ini dinyatakan sebagai berikut :
Table 3.1. Konsep, Variabel dan Indikator
No. | Konsep | Variabel | Indikator |
| Pembentukan Perda yang mensejahterakan masyarakat | Pembentukan dan penerapan Perda yang sesuai dengan asas pembentukan Perda yang baik dan bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat | 1. Perda yang dibuat mampu mengayomi masyarakat. 2. Perda yang dibuat mampu mensejahterakan masyarakat 3. Perda yang dibuat harus berasaskan keadilan, kesamaan, dan keseimbangan |
3.3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah tempat diadakannya suatu penelitian, sedangkan situs penelitian merupakan letak sebenarnya dimana peneliti mengadakn penelitian untuk mendapatkan data yang valid, akurat dan benar-benar dibutuhkan dalm penelitian. Peneliti juga diharapkan dapat menangkap keadaan yang sebenarnya dari obyek yang diteliti termasuk cirri-ciri lokasi, lingkungannya serta segala kegiatan yang ada didalamnya.
Adapun lokasi penelitian yang peneliti ambil yaitu provinsi Sumatera Utara. Peneliti mengambil Provinsi Sumatera Utara sebagai lokasi penelitian dikarenakan Sumatera Utara merupakan provinsi peringkat pertama dengan perda yang bermasalah paling banyak. Sebagian besar perda bermaslah berkaitan dengan pajak dan retribusi daerah. Dengan adanya perda yang bermasalah ini akan mengganggu iklim investasi di darah tersebut.
3.4. Populasi dan Sampel
3.4.1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian baik terdiri dari benda yang nyata, abstrak, peristiwa ataupun gejala yang merupakan sumber data dan memiliki karakter tertentu dan sama (Sukandarrumidi, 2004: 47). Sedangkan menurut Arikunto, populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Apabila seseorang ingin meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian (Arikunto, 2002: 108). Jadi populasi yang dimaksud dalam penelitian adalah seluruh pejabat yang ada di pemerintaha daerah Sumatera Utara.
3.4.2. Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang memiliki sifat-sifat yang sama dari obyek yang merupakan sumber data (Sukandarrumidi, 2004: 50). Sedangkan sampel menuurt Ariku nto adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Metode penentuan sampel dari populasi yang ada menggunakan rujukan rumus Slovin (Dalam Umar, 2003;146) sebagai berikut :
n = N
1+Ne2
n = Ukuran Sampel
N = Ukuran Populasi
e = Prosen Kelonggaran
Dalam penelitian ini peneliti mengambil sampel dari orang-orang yang terlibat dalam pembuatan perda yang bermasalah di Sumatera Utara.
3.4. Validitas dan Reliabilitas
3.4.1 Validitas
Validitas menurut Azwar (1997:55) didefinisikan sebagai seberapa cermat suatu alat tes melakukan fungsi ukurnya atau menurut Singarimbun & Effendi (1989:124) adalah sejauhmana suatu alat ukur dapat mengukur apa yang ingin diukur.
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan validitas konstruk (construct validity) yaitu validitas yang mengacu pada konsistensi dari semua komponen kerangka konsep. Untuk menguji tingkat validitas instrumen penelitiannya, maka digunakan rumus teknik korelasi product moment dari pearson.
Bagian dari uji validitas yang dipakai dalam penelitian ini adalah melalui analisis butir-butir, dimana untuk menguji setiap butir skor total valid tidaknya suatu item dapat diketahui dengan membandingkan antara angka korelasi product moment pearson (r Hitung) pada level signifikansi 0,05 nilai kritisnya. Instrumen penelitian ini dikatakan valid dimana nilai korelasinya lebih besar dari 0,3.
3.4.2. Reliabilitas
Uji realibilitas adalah dengan menguji skor antar item dengan tingkat signifikansi 0,05 sehingga apabila angka korelasi yang diperoleh lebih besar dari nilai kritis, berarti item tersebut dikatakan reliabel. Uji Alpha Cronbach digunakan untuk menguji realibilitas instrumen ini.
3.6. Analisa Data
Dalam penelitian ini, menggunakan analisis hubungan (Korelasi). Karena digunakan untuk menguji hubungan antara 2 variabel atau lebih, apakah kedua variabel tersebut memang mempunyai hubungan yang signifikan, bagaimana arah hubungan dan seberapa kuat hubungan tersebut. Secara umum korelasi dibagi menjadi dua yaitu:
1. Product momen: uji ini untuk mengetahui hubungan antara 2 variabel atau lebih dengan asumsi jenis datanya interval dan rasio serta distribusi datanya nomal. Pengujian kenormalan data dengan menggnakan kolmogorow-smirnov test for goodness of fit. Jika data penelitian menunjukkan dsitribusi normal maka terdapat tiga statistic parametik yang mungkin digunakan yaitu korekasi pearson product moment, korelasi ganda dan korelasi parsial. Statistic parametik yang akan digunakan dalam penelitian ini dengan data yang terdistribusi normal adalah korelasi person product moment karena data berbentuk ratio, hanya terdiri dari dua variable, dan tidak ada yang dikendalikan atau tidak ada hubungan timbal balik.
Untuk menguji penerimaan atau penolakan Ho telah ditentukan untuk menggunakan 2 arah (two sided test). Tahap dari penggunaan rumus korelasi diatas adalah:
a. Menggunakan rumus korelasi untuk mendapatkan r hitung
b. Menentukan tingkat signifikansi (level of significance) yaitu sebesar 5 %.
c. Melihat nilai kritis menurut table nilai t dengan tingkat signifikansi sebesar 5 %.
d. Mengambil kesimpulan apakah menerima atau menolak Ho dengan membandingkan antara nilai r hitung dan r tabel.
2. Karena data yang digunakan berupa ata interval, maka analisis datanya juga menggunakan korelasi spearman rank, yaitu digunakan untuk mengetahui ada tidaknya korelasi antara dua variabel.
bisa minta hasil penelitianya, dengan tujuan untuk penelitian lebih lanjut tentang perda sumatera tentang penanaman modal
BalasHapus